Menikmati Keindahan Taman Sari
Taman Sari yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Istana Taman Sari yang terletak di sebelah
barat Keraton Yogyakarta dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana
I dan diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II. Meskipun
demikian, lokasi Taman Sari sebagai suatu tempat pemandian sudah dikenal jauh
sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Senapati lokasi Taman Sari yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Umbul (mata air) Pacethokan. Umbul ini dulu terkenal dengan debit airnya yang besar dan jernih. Pacethokan ini menjadi salah satu pertimbangan penting bagi penentuan letak calon Keraton Yogyakarta. Istana Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwana sekian lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan untuk menenteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun demikian, Istana Taman Sari ini juga dipersiapkan sebagai sarana/benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk sarana ibadah. Oleh karenanya Istana Taman Sari juga dilengkapi dengan mushola, tepatnya di bangunan Sumur Gumuling.
Nama Taman Sari terdiri atas dua kata, yakni taman 'kebun yang ditanami bunga-bungaan' dan sari 'indah, bunga'. Dengan demikian, nama Taman Sari dimaksudkan sebagai nama suatu kompleks taman yang benar-benar indah atau asri. Dua Versi Cerita Tentang Pembangunan Istana Taman Sari Versi Pertama Pada versi pertama diceritakan bahwa di Mancingan (suatu daerah di pantai selatan Yogyakarta) terdapat orang aneh yang tidak diketahui asal-usulnya.
Masyarakat di daerah tersebut banyak yang menduga bahwa orang tersebut termasuk sebangsa jin atau penghuni hutan. Masyarakat beranggapan demikian karena orang tersebut menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang setempat. Orang aneh tersebut kemudian dihadapkan kepada Sultan Hamengku Buwana II yang saat itu masih memerintah. Rupanya Sultan Hamengku Buwana II berkenan mengambil orang tersebut sebagai abdi. Setelah beberapa lama orang itu pun dapat berbahasa Jawa. Berdasarkan keterangannya ia mengaku sebagai orang Portugis yang dalam dialek Jawa sering disebut Portegis. Orang Portegis itu kemudian dijadikan sebagai abdi yang mengepalai pembuatan bangunan (semacam arsitek).
Sultan Hamengku Buwana II pun memerintahkan orang tersebut agar membuat benteng. Rupanya Sultan Hamengku Buwana II amat berkenan atas hasil kerjanya. Orang tersebut kemudian diberi kedudukan sebagai demang, maka orang itu pun terkenal dengan nama Demang Portegis atau Demang Tegis. Demang Tegis inilah yang konon diperintahkan untuk membangun Pesanggrahan Taman Sari. Oleh karena itu pula bangunan Pesanggrahan Taman Sari menunjukkan unsur seni bangunan yang berasal dari Eropa (Portugis).
Versi Kedua Menurut versi kedua diceritakan bahwa pada suatu ketika bupati Madiun yang waktu itu bernama raden Rangga Prawirasentika, yang telah banyak berjasa kepada Sultan Hamengku Buwana I memohon kepada beliau supaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak daerah yang selama ini dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun.
Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada permintaan-permintaan khusus Sultan Hemngku Buwana I untuk kelengkapan hiasan dan kemegahan keraton. Sultan Hamengku Buwana I pun mengabulkan permohonan itu. Oleh Sultan Hamengku Buwana I Bupati Madiun diperintah untuk membuat gamelan Sekaten sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang berasal dari Surakarta. Semula gamelan tersebut berjumlah satu pasang, tetapi oleh karena palihan nagari (1755) gamelan itu dibagi dua. Satu untuk Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi untuk Kasunanan Surakarta.
Di samping itu, Sultan Hamengku Buwana I juga memerintahkan kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana 'tandu' sebagai kendaraan mempelai putri Sultan Hamengku Buwana I. Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawirasentika diperintahkan untuk membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai persiapan untuk membangun pertamanan yang indah sebagai sarana untuk menenteramkan hati Sultan Hamengku Buwana I. Sultan menghendaki hal demikian karena baru saja menyelesaikan tugas berat (perang) yang berlangsung cukup lama.
Keluarnya perintah Sultan Hamengku Buwana ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal (1684). Untuk pembuatan pertamanan/istana itu atas perkenan Sultan Hamengku Buwana I dikepalai oleh Raden tumenggung Mangundipura dan dipimpin oleh K.P.H. Natakusuma, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I (putra Sri Sultan dengan isteri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara).
Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung 'gorong-gorong' yang menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687). Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok selesai pada tahun 1691. Selesainya pembuatan bangungan Isatana Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Dalam versi kedua ini diceritakan bahwa Raden Rangga Prawirasentika tidak dapat menyelesaikan pembuatan bangunan Istana Taman Sari. Beliau menyatakan bahwa pembangunan tersebut justru dirasa lebih besar biayanya dibandingkan dengan penyampaian pajak setahun dua kali yang selama ini dilakukannya. Oleh karenaya beliau mohon berhenti pada Sultan dan diperkenankan. Sultan kemudian memerintahkan K.P.H. Natakusuma untuk menyelesaikan bangunan itu atas biaya yang ditanggung Sultan sendiri.
Pembangunan Istana Taman Sari ini konon banyak melibatkan tenaga kerja tidak saja yang berasal dari sekitar Yogyakarta, tetapi juga dari Madiun, Kedu, Jipang, dan sebagainya. Bangunan Taman Sari memiliki 36 buah bagian bangunan penting dengan berbagai nama dan fungsinya. Bangunan itu sudah banyak yang rusak, belum lagi tertutup dengan banguan baru , rumah penduduk. Dalam foto terlihat trowongan atau Gua Siluman, yang kabarnya dulu bisa nembus sampai pantai selatan, parangtiritis, tapi telah ditutup untuk keamanan, benar tidaknya saya kurang tahu, mungkin juga benar, mungkin hanya legenda, ruang peraduan, pemandian, dan mushola. serta sebagian banguann Benteng.
Meski
beberapa bangunan dari kolam pemandian ini tidak lagi utuh, tetapi pesona
kecantikan dan arsitekturnya masih bisa anda nikmati. Berlokasi di belakang
Pasar Ngasem, dulu dikenal dengan nama pasar burung, tempat ini bisa dijangkau
dari banyak sisi.
Memasuki
gerbang kolam pemandian, di sebelah kanan anda akan menemukan loket penjualan
karcis. Anda diwajibkan membeli tiket masuk seharga Rp. 3.000 untuk wisatawan
domestik dan Rp. 7.000 untuk wisatwan mancanegara.
Sebelum
sampai di kolam pemandian, anda akan melewati panggung dimana dulu sultan biasa
menyaksikan tetarian saban malam bulan purnama. Biasanya sultan akan
menyaksikan tetarian ini dari atas panggung setelah sebelumnya melakukan ritual
mandi di kolam Taman Sari.
Masuk lebih ke dalam lagi, anda akan sampai pada kolam pemandian. Dibagi dalam dua kolam. Kolam pertama disekat menjadi dua bagian yang diperuntukan bagi putra-putri sultan dan pada bagian lainnya diperuntukkan untuk permaisuri dan selir-selir sultan. Kolam kedua, lebih kecil diperuntukkan khusus untuk sultan. Di antara kedua kolam itu ada sebuah bangunan yang di dalamnya disediakan fasilitas sauna untuk keluarga kesultanan.
Masuk lebih ke dalam lagi, anda akan sampai pada kolam pemandian. Dibagi dalam dua kolam. Kolam pertama disekat menjadi dua bagian yang diperuntukan bagi putra-putri sultan dan pada bagian lainnya diperuntukkan untuk permaisuri dan selir-selir sultan. Kolam kedua, lebih kecil diperuntukkan khusus untuk sultan. Di antara kedua kolam itu ada sebuah bangunan yang di dalamnya disediakan fasilitas sauna untuk keluarga kesultanan.
Sayang,
beberapa bagian dari kolam dan sekitarnya telah rusak akibat gempa pada tahun
1876. Meski beberapa bangunan telah dipugar, namun masih menyisakan beberapa
kepingan bangunan yang kurang lengkap. Begitu pula mata air yang dulu bersumber
langsung dari mata air, kini memanfaatkan mata air PDAM untuk mengisi kolam
cantik ini.
Keluar
lewat pintu belakang akan dijumpai sebuah gapura besar mirip candi bentar di
Bali. Namanya Gedong Gapura Hageng, yang dulu dipakai sebagai pintu gerbang
utama untuk memasuki areal kolam pemandian. Di halaman Gedong Gapura Hageng ini
anda akan menjumpai seorang lelaki berumur sekitar 60 tahun yang sedang fokus
memahat wayang dengan model wayang khas Jawa.
Sebelum
mengkahiri kunjungan di tempat cantik ini, tak lupa kami membeli oleh-oleh
lukisan di samping studio. Ada batik dan lukisan khas Jogja sebagai oleh-oleh
melengkapi perjalanan anda di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar